Medangreen.com - Sudah banyak perubahan yang terjadi disini, Gedung usang yang dahulu tempat kami berdesakan dalam memperoleh dokument, sudah digantikan dengan gedung baru yang modern, bersiah dan luas. Kesan kotor dan kumuh sudah tidak tampak lagi. Bahkan kalau dibandingkan negara tetangga yang sering mengejek ngejek tempat kelahiran kami boleh dibilang mereka sekarang kalah jauh. Mungkin benar kabar burung tentang negaraku yang sudah mulai berbenah dibawah pemerintahan yang baru.
Keluar dari pintu gerbang bangunan megah tersebut, suasana kehidupan rakyat perbatasan mulai terasa. Walaupun sudah disentuh dengan pembangunan tetapi dibeberapa titik kesan bersahaja dan sederhana masih tampak jelas. Aku mencari – cari bis yang akan membawaku pulang ke desa. Ternyata belum berubah untuk hal ini. Kendaraanya masih tetap sama, mobil tua dengan cat yang sudah tidak tampak warnanya apa.
Sampai akhirnya tubuh lelahku kusandarkan pada jok lapuk sebuah bis tua, aku duduk di kursi agak belakang agar memudahkan apabila turun nantinya. Semerbak bau asap rokok langsung menghampiri begitu aku hirup udara disekeliling. Ahhh. peduli amat pikirku, mata dan fikiranku sudah terlalu lelah untuk melihat dan merasakan itu semua. Pikiranku sekarang adalah segera sampai ke dusun dan bertemu dengan si Inong anakku.
Sekali lagi kupastikan kepada supir dan keneknya kemana tujuanku agar mereka dapat membangunkan atau setidaknya memberitahu kepadaku, apabila lokasi sudah dekat. Dusunku itu memang bukan berada di kota tapi agak jauh dari perbatasan kota. Dari jalan besar masih masuk lagi sekitar satu jam memakai motor. Karena pastinya akan tiba disana lewat tengah malam. Aku hanya berjaga – jaga kalau saja aku tertidur atau terlewatkan dimana aku harus turun.
Setelah itu aku tidak bisa lagi menahan berat kedua mataku, aku tertidur…
“Ibu, aku tidak tahu harus berbuat apalagi, haruskah aku tolak atau terima tawaran ini ?” Tanyaku.
Wajah wanita tua dengan keriput dan rambut putih didepanku memandang ke luar jendela, nanar matanya memerah.
“Ibu, aku tidak tahu harus berbuat apalagi, haruskah aku tolak atau terima tawaran ini ?” Tanyaku.
Wajah wanita tua dengan keriput dan rambut putih didepanku memandang ke luar jendela, nanar matanya memerah.
“Dengan kondisi kita saat ini, kita tidak akan bertahan lama.kita butuh uang Ibu. !!” Keras suaraku
“Si Inong sebentar lagi mau masuk SMP, kalau aku cuma bertahan disini, Inong pasti tidak akan bersekolah lagi setelah tamat SD, Harga sawit semakin turun, karet apalagi, kita bisa mati kalau terus begini !!” Tanpa henti aku bersuara.
“Si Inong sebentar lagi mau masuk SMP, kalau aku cuma bertahan disini, Inong pasti tidak akan bersekolah lagi setelah tamat SD, Harga sawit semakin turun, karet apalagi, kita bisa mati kalau terus begini !!” Tanpa henti aku bersuara.
“Tapi dia terlalu kecil untuk kamu tinggalkan, setelah suamimu pergi dengan wanita itu dan tidak kembali lagi, tidakkah kamu kasihan apabila membayangkan dia harus hidup sendiri tanpa orang tua ?” Jawab ibuku.
“Hidup tanpa kasih sayang ayah saja sudah berat bagi dia, apalagi sekarang tidak ada seorang ibu di sisinya, apakah kamu tega kalau suatu saat dia menangis karena ingin bertemu denganmu? Apa yang harus aku katakan kepadanya?.” Tanya Ibuku.
“Hidup tanpa kasih sayang ayah saja sudah berat bagi dia, apalagi sekarang tidak ada seorang ibu di sisinya, apakah kamu tega kalau suatu saat dia menangis karena ingin bertemu denganmu? Apa yang harus aku katakan kepadanya?.” Tanya Ibuku.
Tak sanggup aku membayangkan hal itu akan terjadi. Tetapi aku kembali sadar tidak boleh dikuasai kembali oleh emosi sesaat, nalar dan logika harus kembali diutamakan. Semua sudah aku pertimbangkan masak – masak. Aku tak mau anakku sama nasibnya sepertiku, gadis desa yang tidak bersekolah, yang terlalu lugu sehingga sebegitu bodohnya dimanfaatkan oleh lelaki dari kota hanya untuk kepuasan sesaat .
Si Inong ini harus mendapatkan pendidikan lebih baik dari Ibunya. Biarlah anakku ini mendapatkan kesempatan untuk meraih masa depannya sendiri. Walaupun untuk itu kami harus berkorban, terpisah jarak dan waktu. Demi untuk masa depannya aku siap bermandikan tangis rindu setiap hari.
Entahlah siapa yang lebih bisa menahan rindu itu nantinya, kerinduan seorang ibu akan anaknya atau kerinduan anak kepada ibunya? Aku hanya takut bahwa pada saat itu tiba aku berada dipihak yang kalah.
Malam itu sengaja kutemani Inong belajar, aku duduk dilantai dibelakangnya sambil melipat baju yang siangnya dijemur, kuperhatikan dari belakang setiap gerak tubuhnya dari ujung kepada sampai ujung kaki. Melihat pemandangan dihadapanku tak terasa mataku mulai memerah dan genangan air mata ini siap untuk tertumpah.
Malam itu sengaja kutemani Inong belajar, aku duduk dilantai dibelakangnya sambil melipat baju yang siangnya dijemur, kuperhatikan dari belakang setiap gerak tubuhnya dari ujung kepada sampai ujung kaki. Melihat pemandangan dihadapanku tak terasa mataku mulai memerah dan genangan air mata ini siap untuk tertumpah.
Inong sangat tekun dan rajin dalam bersekolah, harus aku akui dia memang bukan anak terpintar di sekolahnya bahkan dikelasnya dia juga bukan juara kelas, tetapi bukankah kepintaran itu tidak menjamin kesuksessan seseorang? Yang aku tahu dari Inong adalah dia adalah anak yang tekun dan mandiri. Tidak pernah aku dengar dia mengeluh betapa sulitnya pelajaran disekolah
Dan yang terpenting dia pasti akan selalu pulang ke rumah dengan senyuman mengembang, keceriaan tidak lepas dari dirinya. Tidak juga dia keberatan setelah itu diminta bekerja membantu kami di kebun atau membantu menyadap karet di kebun milik pabrik. Kadang kami larang tetapi dia yang memaksa. Bosan dirumah sendiri, atau kadang dia bilang, kasian mau bantu nenek saja.
“Udah malam Nong, besok lagi belajarnya…” Pintaku demi melihat jam dinding sudah menunjukkan jam 10 malam.
“Bentar lagi bu, tanggung masih dua halaman lagi, Inong mau selesaikan bacanya,…”Katanya tanpa menoleh.
“Ibu ngantuk?, Kalau ngantuk ibu tidur aja dulu dahulu, nanti Inong nyusul, tapi lampu depan jangan dimatikan ya, soalnya jadi agak gelap disini.” Kali ini dia melihat kearahku.
“Dak Nong, Ibu belum ngantuk, ibu mau menemanimu disini, sampai kamu selesai belajar.” Sambil kuanggukkan kepalaku.
“Bentar lagi bu, tanggung masih dua halaman lagi, Inong mau selesaikan bacanya,…”Katanya tanpa menoleh.
“Ibu ngantuk?, Kalau ngantuk ibu tidur aja dulu dahulu, nanti Inong nyusul, tapi lampu depan jangan dimatikan ya, soalnya jadi agak gelap disini.” Kali ini dia melihat kearahku.
“Dak Nong, Ibu belum ngantuk, ibu mau menemanimu disini, sampai kamu selesai belajar.” Sambil kuanggukkan kepalaku.
Kembali Inong larut kedalam bacaannya, sampai akhirnya suaranya memecah keheningan.
“Bu, kalau besar nanti Inong mau jadi Polisi, boleh bu?”
Aku terhenyak akan pertanyaannya..
“Ohh tentu saja boleh dong , Inong mau jadi apa saja boleh, asal Inong harus rajin belajar.” Jawabku sekenanya.
“Bu, kalau jadi seorang polisi susah tidak sekolahnya ?” Tanyanya lagi.
“Bu, kalau besar nanti Inong mau jadi Polisi, boleh bu?”
Aku terhenyak akan pertanyaannya..
“Ohh tentu saja boleh dong , Inong mau jadi apa saja boleh, asal Inong harus rajin belajar.” Jawabku sekenanya.
“Bu, kalau jadi seorang polisi susah tidak sekolahnya ?” Tanyanya lagi.
Aku tidak bisa menjawab hal ini, jangankan sekolah Polisi sekolah biasa saja aku tidak tamat.
“Tidak ada yang susah didunia ini Nong, semua pasti bisa kalau kita rajin, jujur dan selalu berdoa.” Jawabku.
‘Mahal dak bu sekolah polisi ?” Tanya lagi, tapi kali ini pandangannya diarahkan kepadaku.
Aku terdiam untuk sekian lama….., tidak berani aku jawab pertanyaan ini. Aku menyadari Inong adalah anak yang pintar. Aku tau dia pasti akan bertanya terus sampai rasa keinginan tahunya terpuasakan.
“Tidak ada yang susah didunia ini Nong, semua pasti bisa kalau kita rajin, jujur dan selalu berdoa.” Jawabku.
‘Mahal dak bu sekolah polisi ?” Tanya lagi, tapi kali ini pandangannya diarahkan kepadaku.
Aku terdiam untuk sekian lama….., tidak berani aku jawab pertanyaan ini. Aku menyadari Inong adalah anak yang pintar. Aku tau dia pasti akan bertanya terus sampai rasa keinginan tahunya terpuasakan.
“Dak mahal kok, yang penting Inong belajar aja yang rajin.., pasti bisa jadi Polisi”. Jawabku.
“Hmmm…..Okelah bu, udah selesai semuanya, PR dan tugas membaca sudah selesai, kita tidur bu, sambil kakinya melangkah ke saklar lampu tak jauh dari meja belajarnya.
“Aku matikan ya, lampunya?” Pintanya.
“Buku – buku sudah disusun semua”? Tanyaku
“Sudah beres semua.” Jawabnya
“Okelah kalau begitu, ini juga besok aja distrika belum kering benar baju – baju ini.” Jawabku.
“Hmmm…..Okelah bu, udah selesai semuanya, PR dan tugas membaca sudah selesai, kita tidur bu, sambil kakinya melangkah ke saklar lampu tak jauh dari meja belajarnya.
“Aku matikan ya, lampunya?” Pintanya.
“Buku – buku sudah disusun semua”? Tanyaku
“Sudah beres semua.” Jawabnya
“Okelah kalau begitu, ini juga besok aja distrika belum kering benar baju – baju ini.” Jawabku.
Malam itu hujan mengguyur desa kami, Bau tanah basah semakin membuat nyaman istirahat kami. Semakin erat juga pelukan tanganku mendekap Inong. Anakku satu – satunya ini. Andai waktu bisa diperpanjang ingin rasanya aku mohon kepada Sang Empunya Waktu agar saat – saat seperti ini bisa kurasakan lebih lama.
Hari yang sebenarnya tidak aku kehendaki kedatangannya akhirnya tiba juga. Sudah aku kakatakan sebelumnya kepada yang menjemputku untuk agak siang saja menjemputku, aku ingin menunggu anakku Inong pulang dari sekolah dulu. Tetapi ternyata rombongan penyemput usah tiba duluan. Awalnya mereka bersikeras untuk segera berangkat, karena alasan takut gangguan di jalan sehingga pintu gerbang akan ditutup sebelum kita tiba. Dengan setengah memohon aku minta kepada mereka, untuk menunggu setengah jam lagi.
Hari yang sebenarnya tidak aku kehendaki kedatangannya akhirnya tiba juga. Sudah aku kakatakan sebelumnya kepada yang menjemputku untuk agak siang saja menjemputku, aku ingin menunggu anakku Inong pulang dari sekolah dulu. Tetapi ternyata rombongan penyemput usah tiba duluan. Awalnya mereka bersikeras untuk segera berangkat, karena alasan takut gangguan di jalan sehingga pintu gerbang akan ditutup sebelum kita tiba. Dengan setengah memohon aku minta kepada mereka, untuk menunggu setengah jam lagi.
Lewat setengah jam, aku mulai gelisah, Inong belum pulang juga, aku bersikeras menunggu anakku, tetapi mereka juga bersikeras kalau masih menunggu ya ditinggal saja.tidak ingin ambil resiko Aku bingung. Akhirnya dengan kesepakatan bersama aku bersama mobil rombongan singgah sebentar kesekolah Inong, dari sana ada atau tidak ada Inong mobil langsung berangkat. Sepakat.
Sejurus kemudian kupeluk erat – erat ibuku yang dari tadi menemani disisiku, hanya satu kata terucap dari bibirku…
”Titip Inong ya Bu”. Pintaku…
Ibuku tak menjawab apa- apa, hanyalah terasa tangan keriputnya mengelus ubun – ubun kepalaku berulang – ulang. Kulepas pelukankanku, kulihat mata tua itu memerah, kuperhatikan rumah panggung kami. Lalu kulambaikan tanganku ke beberapa tetangga yagn kebetulan berada di rumah. Sebelum aku masuk kedalam mobil.
”Titip Inong ya Bu”. Pintaku…
Ibuku tak menjawab apa- apa, hanyalah terasa tangan keriputnya mengelus ubun – ubun kepalaku berulang – ulang. Kulepas pelukankanku, kulihat mata tua itu memerah, kuperhatikan rumah panggung kami. Lalu kulambaikan tanganku ke beberapa tetangga yagn kebetulan berada di rumah. Sebelum aku masuk kedalam mobil.
Kumasuki gerbang sekolah yang sudah sepi, ternyata sekolah memang sudah bubar seperti biasanya, , Dengan sedikit berlari aku langsung menuju ke ruang para guru. Disana aku lihat Inong dan tiga rekannya sedang duduk dihadapan beberapa guru. Tanpa berfikir panjang langsung kupeluk anakku.
“Maaf Bu guru. Ada apa dengan anak kami, apakah mereka dihukum?” Tanyaku
“Oh Bu Lastri, kebetulan ibu datang, maaf sebelumnya tidak memberitahu sebelumnya, inipun mendadak, kami baru saja mendapatkan pengumuman tadi pas sedang pelajaran, sehingga kami pikir akan memberitahu yang bersangkutan setelah selesai waktu sekolah.makanya mereka kami kumpulkan disini.” Jawab Ibu kepala sekolah
“Ada apa bu?” tanyaku.
“Tentang anak – anak kita ini, Inong dan teman – temannya, Ini ada permintaan dari Provinsi mengingkan sekolah kita untuk mengirimkan wakil- akilnya untuk tampil menari dihadapan Bapak Presiden yang bakal berkunjung ke Ibukota Propinsi bulan depan. Nah katanya bapak Presiden ingin anak – anak yang menari itu perwakilan dari SD – SD yang ada dipedalaman, Nah kebetulan SD kita terpilih.”
“Oh Bu Lastri, kebetulan ibu datang, maaf sebelumnya tidak memberitahu sebelumnya, inipun mendadak, kami baru saja mendapatkan pengumuman tadi pas sedang pelajaran, sehingga kami pikir akan memberitahu yang bersangkutan setelah selesai waktu sekolah.makanya mereka kami kumpulkan disini.” Jawab Ibu kepala sekolah
“Ada apa bu?” tanyaku.
“Tentang anak – anak kita ini, Inong dan teman – temannya, Ini ada permintaan dari Provinsi mengingkan sekolah kita untuk mengirimkan wakil- akilnya untuk tampil menari dihadapan Bapak Presiden yang bakal berkunjung ke Ibukota Propinsi bulan depan. Nah katanya bapak Presiden ingin anak – anak yang menari itu perwakilan dari SD – SD yang ada dipedalaman, Nah kebetulan SD kita terpilih.”
‘Karena kami melihat selama ini Inong berbakat dalam bidang tersebut, kami coba mengusulan Inong dan empat temannya untuk dikirim ke Ibu kota, Akan ada semacam pelatihan selama seminggu disana. Tentunya kami dari pihak sekolah akan selalu mendampingi selama disana, untuk itulah kami ingin mmberitahukan ini kepada anak – anak untuk supaya mereka minta ijin kepada orang tuanya. Rencana besok kami ngingin minta ijin kepada orang tua masing – masing, kebetulan ibu disini sekalian saja kami minta ijinnya.”
Tak kuasa kutahan lagi air mata ini, sambil kupeluk erat anakku. Kata- kata dari mulut SI inong semakin membuatku tidak bisa berkata – kata lagi..
“Ibu jadi pergi hari ini?” tanyanya datar…
“Jadi Nong.. itu mobil sudah ada di depan, Ibu tunggu Inong dari tadi dirumah, makanya ibu nyusul kesini..”.
“Ibu jadi pergi hari ini?” tanyanya datar…
“Jadi Nong.. itu mobil sudah ada di depan, Ibu tunggu Inong dari tadi dirumah, makanya ibu nyusul kesini..”.
Akhirnya aku minta waktu sebentar untuk berbicara dengan Ibu kepala sekolahnya, kuceritakan dengan singkat bahwa aku akan pergi bekerja keluar negeri saat ini, pada saat itu juga aku menitipkan anakku kepada mereka. Terkejutlah para guru mendengar apa yang aku ceritakan, karena sangat jarang para wanita disini yang mau berjuang untuk mencari uang sampai berpisah dengan anaknya, sampai harus merantau ke negeri orang.
Perkataan seorang guru ini setidaknya membuat sedikit bebanku menjadi ringan.
“Tenang bu, Inong, bukan anak yang manja, dia anak yang tekun dan mau belajar, kami berjanji mendidik dia semampu kami, lihatlah dia, bahkan dia lebih tegar dari kita semua disini.”
“Tenang bu, Inong, bukan anak yang manja, dia anak yang tekun dan mau belajar, kami berjanji mendidik dia semampu kami, lihatlah dia, bahkan dia lebih tegar dari kita semua disini.”
Kupeluk erat anakku untuk terakhir kali, sampai kering rasanya air mata ini mengalir, ku kecup berulang – ulang keningnya berulang – ulang, Kepeluk lagi….
“Tinnnn….tinnnn….. tinnnn….” suara panjang klason mobil menggejutkanku…
“Tinnnn….tinnnn….. tinnnn….” suara panjang klason mobil menggejutkanku…
Aku sadar saat inilah saat harus berpisah kusalami satu persatu guru diruangan itu, lalu kugandeng tangan Inong menuju kearah mobil rombongan. Kegenggam erat tangannya… sampai mendekati pintu mobil.
Kupeluk erat sekali lagi anakku… sambil kubisikan kata kekuping mungilnya….”Maafkan Ibumu ini anakku.” Serak suaraku saat mengucapkan itu.
“Ibu Hati – hati disana, cepat pulang ya..” Jawabnya…
Pintu ditutup, mobil melaju dengan kencang… aku hanya tertunduk tidak berani lagi melihat kebelakang…
Kupeluk erat sekali lagi anakku… sambil kubisikan kata kekuping mungilnya….”Maafkan Ibumu ini anakku.” Serak suaraku saat mengucapkan itu.
“Ibu Hati – hati disana, cepat pulang ya..” Jawabnya…
Pintu ditutup, mobil melaju dengan kencang… aku hanya tertunduk tidak berani lagi melihat kebelakang…
Kuketuk perlahan pintu rumah panggung itu. Tidak ada suara dari dalam. Kucubo beranikan diri bersuara setengah berteriak..
“Inong…Inong….ini Ibu… Inong ”teriakku.
Kuketuk lagi pintu tersebut…..
Tak berapa lam terdengar langkah kaki dari dalam, sebelum dibuka terdengar suara dari dalam..
“Siapa..?” tanyanya..
Aku langsung mengenali ini adalah suara ibuku…
“Ini aku Bu” , Lastri anakmu…
“Siapa..?” tanyanya..
Aku langsung mengenali ini adalah suara ibuku…
“Ini aku Bu” , Lastri anakmu…
Pintu terbuka..sesosok wanita tua, tetapi masih terlihat bugar berdiri dihadapanku, langsung kusalami kucium tangannya lalu kupeluk. Damai.. hangat pelukan seorang ibu sesaat aku ingin menikamtinya.
“ Inong mana bu?” tanyaku langsung sambil terus berjalan ke kamar kami dahulu.
“Tidak ada dia dikamar? Apa dia tidur sama Ibu?”
Ibuku menggeleng..
“Dia tidak ada dirumah, sudah hampir satu bulan..” Jawab ibuku
“ Inong mana bu?” tanyaku langsung sambil terus berjalan ke kamar kami dahulu.
“Tidak ada dia dikamar? Apa dia tidur sama Ibu?”
Ibuku menggeleng..
“Dia tidak ada dirumah, sudah hampir satu bulan..” Jawab ibuku
Demi mendengar hal itu rasa panik mulai menjalar disekujur tubuhku..pikiran aneh-aneh mulai merasuki kepalaku. Ada apa dengan anakku. Apalah dia terjerumus sepertiku dulu? Atau dia melarikan diri dari rumah karena tidak tahan dengan kehidupan di kampung? Jangan – jangan dia ikut pergaulan tidak jelas, uang yang aku kirimkan tiap bulan jangan – jangan dipergunakan sia – sia.
Belum sempat aku bertanya kepada Ibuku, dia sudah menyodorkan sebuah surat kepadaku…
“Bacalah…” Kata ibuku singkat..
Belum sempat aku bertanya kepada Ibuku, dia sudah menyodorkan sebuah surat kepadaku…
“Bacalah…” Kata ibuku singkat..
Kuperhatikan sampul surat itu, berlogo Dinas pendidikan, kubuka dan pelan – pelan aku baca. Belum sempat aku akhiri membaca surat itu. Air mataku kembali menetes.
“Inong….Oh…Inong…, betapa bangganya Ibu padamu nak, semoga besok kamu bisa menjalankan tugas berat itu dengan baik di Istana Negara di depan Presiden.”
“Kibarkanlah setinggi – tingginya bendera kita di tiang tertinggi, Seperti tingginya cita – cita yang akan kamu raih”.
“Inong….Oh…Inong…, betapa bangganya Ibu padamu nak, semoga besok kamu bisa menjalankan tugas berat itu dengan baik di Istana Negara di depan Presiden.”
“Kibarkanlah setinggi – tingginya bendera kita di tiang tertinggi, Seperti tingginya cita – cita yang akan kamu raih”.
Kuperhatikan perlahan dinding rumah kami yang dulu kosong sekarang penuh dengan piala dan penghargaan serta foto – foto Inong bersalaman dengan orang – orang berpakaian rapi.
Aku akhirnya duduk dikursi tempat Inong biasa belajar. Aku cuma berfikir seandainya pada saat itu aku tidak mengambil keputusan untuk pergi merantau menyeberangi tapal batas. Akan Jadi apa Inong sekarang? Apakah bisa berprestasi seperti ini? atau bahkan bisa lebih baik dari saat ini? atau juga barangkali malah tidak jadi apa-apa ? Tetapi yang pasti, menjadi apapun Inong nantinya , dia masih tetaplah malaikat kecilku …. Selamanya…
Sekian.
seword.com
Post a Comment